Minggu, 05 Februari 2012

Siapa pahlawan sesungguhnya ?


“Optimisme menular….Ketulusan menggerakkan [Anies Baswedan]
Pesimisme ? menghancurkan” [Hesty Ambarwati]

SD IT Rabbani. 2 Tahun yang penuh liku, penuh warna, penuh kisah. Dari mulai ditinggalkan, sampai sempat meninggalkan. Jika semua orang terkagum-kagum tentang “mahasiswi, 22 tahun, menjadi kepala sekolah”, saya justru malu melihat tagline itu..haha. Betapa tidak, tugas saya tidak banyak di kelas, hanya sesekali menggantikan guru yang tidak hadir.  Tugas menyetorkan lembar C-1 kepada Kepala Sekolah SDN 1 Cimenyan yang tercinta seringkali tertunda, karena malas harus berbasa-basi setiap saat (haha-padahal kepala sekolahnya baik looh). Datang seringnya terlambat entah 15 menit sampai 2 jam. Senin sampai Jumat, mungkin saya hanya bisa hadir 4 atau 3 hari bahkan seminggu bisa jadi tidak datang sama sekali.  Menjadi kepala sekolah-pun bukan karena kompetensi yang dinilai luar biasa. Belum pula lulus S-1, mata kuliah Pengelolaan Pendidikan-pun seringnya bolos. Hanya penunjukkan bar-bar yang dilakukan disekotak kamar kosan dengan sang partner in crime (baca : Miss Anissa Trisdianty) didetik-detik penjajahan di sekolah itu.
Siapa Pahlawan Sesungguhnya?
Kami
Pahlawan sesungguhnya adalah Ibu-ibu guru yang bersumber dari dataran (RRC) Cimenyan sendiri. Ibu sekaligus guru yang telah sukses kami jebak ke dalam lingkaran pahala tak terputus ini. Tanpa iming-iming gaji setingkat UMR Jawa Barat (sepeserpun tidak kami janjikan). SD IT Rabbani benar-benar sekolah gratis, gratis muridnya, gratis gurunya (tapi Alhamdulillah, mereka tidak pernah demo ke jalan Tol menuntut kenaikan gaji). Entahlah, kepercayaan yang bersumber dari apa yang membuat mereka percaya pada kami, dua mahasiswi polos yang tidak mereka kenal sebelumnya.
Ialah Ibu Susilawati (bu uci), Ibu Titin, Ibu Nurul, dan Ibu Maisyah (bu ica). Mereka bukanlah sarjana-sarjana pendidikan, ibu-ibu pada umumnya (yang dua masih single tepatnya) yang luar biasa. Di tengah kesibukan mengurus anak, rumah dan suami mereka tetap memperjuangkan sekolah yang  tak bisa menjanjikan kesejahteraan financial.  Entah, semangat apa yang membuat mereka terus kembali meski seringkali dikecewakan.
Ibu-ibu guru luar biasa yang senantiasa berkata :
Guru bersama calon pemimpin
“Ibu, gaji kita itu yang  paling besar di antara sekolah yang lain. Gajinya langsung dari Allah”
“Ibu, sok hari kosongnya apa, nanti sisanya tidak apa-apa kami yang mengajar”
“Ibu, kita paling senang klo ibu-ibu (saya dan nisa) datang ke sekolah, walaupun sebentar, tapi kami jadi semangat”
“Ibu, kalau ibu sibuk, tidak apa-apa biar kami aja yang ke SD bawah”
“Ibu, kasihan anak-anak klo sekolah ini harus tutup lagi”
“Ibu, ada murid baru lagi. Kasihan kalau tidak diterima, nanti mau sekolah di mana lagi dia?”
"Ibu, ibu masih semangat kan? tidak akan meninggalkan kami kan?"
Ya. Mereka-lah pahlawan sesungguhnya. Tempat saya belajar tentang idealisme. Di tengah keterbatasan biaya hidupnya sendiri mereka masih peduli pada kelangsungan pendidikan anak-anak negeri Cimenyan. Mereka bukan orang-orang dengan rezeki yang berlimpah, terkadang saya harus mendapatkan seorang guru yang kehabisan beras di rumahnya.

Guru-guru yang keinginan belajarnya tinggi. Guru-guru yang menaruh harapan pada anak-anak kami sendiri.  Saya belajar tentang dorongan besar bernama kepedulian (dan ibadah tentunya) dari mereka. Teringat sebuah film yang sangat menginspirasi bernama Beyond the Blackboard, miss Stacey Bess berkata : “You don’t need  unusual skills,  You don’t need special training, You just have to care. Terima kasih telah berbagi, terima kasih telah membersamai, terima kasih telah memahami dan banyak memaklumi kami.
Ibu-ibu…kapan kita ngeliwet lagi [HA – 4 Februari 2012, lapar]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar