“Optimisme menular….Ketulusan menggerakkan [Anies Baswedan]
Pesimisme ? menghancurkan” [Hesty Ambarwati]
SD IT Rabbani. 2 Tahun yang penuh liku, penuh warna, penuh
kisah. Dari mulai ditinggalkan, sampai sempat meninggalkan. Jika semua orang
terkagum-kagum tentang “mahasiswi, 22 tahun, menjadi kepala sekolah”, saya
justru malu melihat tagline itu..haha. Betapa tidak, tugas saya tidak banyak di
kelas, hanya sesekali menggantikan guru yang tidak hadir. Tugas menyetorkan lembar C-1 kepada Kepala
Sekolah SDN 1 Cimenyan yang tercinta seringkali tertunda, karena malas harus
berbasa-basi setiap saat (haha-padahal kepala sekolahnya baik looh). Datang
seringnya terlambat entah 15 menit sampai 2 jam. Senin sampai Jumat, mungkin
saya hanya bisa hadir 4 atau 3 hari bahkan seminggu bisa jadi tidak datang sama
sekali. Menjadi kepala sekolah-pun bukan
karena kompetensi yang dinilai luar biasa. Belum pula lulus S-1, mata kuliah
Pengelolaan Pendidikan-pun seringnya bolos. Hanya penunjukkan bar-bar yang
dilakukan disekotak kamar kosan dengan sang partner
in crime (baca : Miss Anissa Trisdianty) didetik-detik penjajahan di
sekolah itu.
Siapa Pahlawan Sesungguhnya?
Kami |
Pahlawan sesungguhnya adalah Ibu-ibu guru yang bersumber
dari dataran (RRC) Cimenyan sendiri. Ibu sekaligus guru yang telah sukses kami
jebak ke dalam lingkaran pahala tak terputus ini. Tanpa iming-iming gaji
setingkat UMR Jawa Barat (sepeserpun tidak kami janjikan). SD IT Rabbani
benar-benar sekolah gratis, gratis muridnya, gratis gurunya (tapi
Alhamdulillah, mereka tidak pernah demo ke jalan Tol menuntut kenaikan gaji). Entahlah,
kepercayaan yang bersumber dari apa yang membuat mereka percaya pada kami, dua
mahasiswi polos yang tidak mereka kenal sebelumnya.
Ialah Ibu Susilawati (bu uci), Ibu Titin, Ibu Nurul, dan Ibu
Maisyah (bu ica). Mereka bukanlah sarjana-sarjana pendidikan, ibu-ibu pada
umumnya (yang dua masih single tepatnya) yang luar biasa. Di tengah kesibukan
mengurus anak, rumah dan suami mereka tetap memperjuangkan sekolah yang tak bisa menjanjikan kesejahteraan
financial. Entah, semangat apa yang
membuat mereka terus kembali meski seringkali dikecewakan.
Ibu-ibu guru luar biasa yang senantiasa berkata :
Guru bersama calon pemimpin |
“Ibu, gaji kita itu yang
paling besar di antara sekolah yang lain. Gajinya langsung dari Allah”
“Ibu, sok hari kosongnya apa, nanti sisanya tidak apa-apa
kami yang mengajar”
“Ibu, kita paling senang klo ibu-ibu (saya dan nisa) datang
ke sekolah, walaupun sebentar, tapi kami jadi semangat”
“Ibu, kalau ibu sibuk, tidak apa-apa biar kami aja yang ke
SD bawah”
“Ibu, kasihan anak-anak klo sekolah ini harus tutup lagi”
“Ibu, ada murid baru lagi. Kasihan kalau tidak diterima,
nanti mau sekolah di mana lagi dia?”
"Ibu, ibu masih semangat kan? tidak akan meninggalkan kami kan?"
Ya. Mereka-lah pahlawan sesungguhnya. Tempat saya belajar
tentang idealisme. Di tengah keterbatasan biaya hidupnya sendiri mereka masih
peduli pada kelangsungan pendidikan anak-anak negeri Cimenyan. Mereka bukan
orang-orang dengan rezeki yang berlimpah, terkadang saya harus mendapatkan
seorang guru yang kehabisan beras di rumahnya.
Guru-guru yang keinginan belajarnya tinggi. Guru-guru yang
menaruh harapan pada anak-anak kami sendiri.
Saya belajar tentang dorongan besar bernama kepedulian (dan ibadah
tentunya) dari mereka. Teringat sebuah film yang sangat menginspirasi bernama
Beyond the Blackboard, miss Stacey Bess berkata : “You don’t need unusual
skills, You don’t need special training,
You just have to care”. Terima kasih telah berbagi, terima kasih telah
membersamai, terima kasih telah memahami dan banyak memaklumi kami.
Ibu-ibu…kapan kita ngeliwet lagi [HA – 4 Februari 2012, lapar]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar