Adi tekun menggambar |
Perlombaan adalah suatu peristiwa
sangat besar bagi anak-anak kami. Apalagi kalau dilaksanakan di luar negaranya.
Hari itu, 5 Februari 2012. Adi dan Iman, dua anak kami mengikuti perhelatan
akbar pertama sepanjang sejarah hidupnya. Lomba menggambar di UPI, dilaksanakan
oleh kakak-kakak dari Himpunan Mahasiswa Biologi UPI (HMBF Formica). Temanya
menarik, mengenai : Melestarikan Lingkungan Hidup.
Rohiman mengikuti lomba [Foto : Hesty Ambarwati] |
Adi dan Iman, dengan pakaian
sederhana dan tas punggung yang kebesaran melangkah mantap di lorong Gedung
FPMIPA. Menatap anak-anak lainnya yang diantar menggunakan mobil pribadi oleh
orang tuanya sendiri. Anak-anak kota membawa perlengkapan menggambar yang
sangat professional. Adi dan Iman, di tengah mantap langkahnya, menatap
anak-anak kota takjub. Gurat wajahnya mendadak berbicara tingkat groginya yang
akut. Ini kali pertamanya menginjakkan kaki di tempat semegah dan seluas ini.
Takjub.
Siswa lain dengan peralatan yang profesional |
Adi dan Iman, duduk bersama
anak-anak kota, masing-masing dibekali meja lipat milik gurunya, pensil,
penghapus, tisu yang entah fungsinya apa serta crayon sederhana dengan warnanya
yang standar. Kotak crayonnya tak sebesar anak-anak kota, mereka tak memiliki kuas, sarung tangan,
glitter, dan peralatan gambar lainnya.
Adi dan Iman menatap sekeliling
grogi. Riuh suara anak-anak kota membuat mereka tenggelam pada suasana
kompetisi yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Suasana yang nano-nano.
“Fokus menggambar saja, jangan
lihat sekeliling” Miss Nissa berpetuah
Iman mengintip Lactobacillus Bulgaricus |
120 menit mulai dihitung mundur.
Iman garuk-garuk kepala. Adi menerawang jauh ke depan berharap mendapat
inspirasi. Anak-anak kota mantap menatap kertas gambarnya. 30 menit
selanjutnya, Adi dan Iman mulai mantap menatap kertas gambarnya. Menggambar apa
saja dalam otaknya.
Ibu Nisa, Iman, Adi dan Bu Nurul di depan JICA |
120 menit berlalu. Pengumuman
pemenang dimulai. Juara 1,2 dan 3 didapatkan oleh anak-anak kota. Maju
menenteng piala dan gambarnya.
“Alus geuning nu batur mah”
celetuk Iman lantang di tengah sepinya ruangan. Polos
“Nya Man” sahut Adi. Yang lain
memandang.
“Gimana perasaannya?” tanya kami
“Deg-degan ibu…tapi seru da
banyak temen”
“Tenang…nanti kita buat lomba
bikin kandang omen (hamster) nya”
celetuk kami
“Hahahah….ibu”
Foto bersama peserta lainnya |
Saya hanya dapat tersenyum
simpul. Nak, jauh sebelum perlombaan ini, kalian sudah menjadi juara. Juara
karena telah menaklukan ketakutanmu. Juara, karena telah menaklukan perasaan
tidak mampu. Juara, karena telah sampai di sini, merasakan nikmatnya kompetisi.
Juara, karena lebih bersemangat belajar lagi setelahnya. Juara, karena tahu
arti lapang dada. Juara, karena merasa kompetitormu bukanlah lawan melainkan
kawan untuk saling berprestasi. Juara, karena setelahnya kalian berkata “Ibu
nanti mau ikut lomba lagi, tadi udah liat gambar nu batur”. Dan senyum bangga
menutup hari kalian saat itu. Selamat ibu ucapkan pada kalian. Nanti berlatih
lagi ya. Gagal itu indah, jika kau memandangnya demikian. Dan seni bukan untuk
mendapatkan piala itu, namun untuk mendapatkan kepuasaan dalam hatimu.
[HA – 6
Februari 2012, galau skripsi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar