Senin, 12 November 2012

[Belajar Seru] Mengelilingi Dunia dengan Monopoli


Mengelilingi Dunia dengan Monopoli
ditulis oleh. Citra Amalia  (Volunteer dalam program Guru Rabbani, Mahasiswi UPI)

Anak-anak antusias mengamati negara-negara

Awalnya hanya terbersit keinginan untuk membuat sebuah permainan yang umum di mainkan untuk diambil sisi ilmunya. Berhubung permainan yang menjadi favorit saya sewaktu kecil itu monopoli, alhasil saya pun mencoba mencarinya dan menemukannya:D. 

Kenapa saya memilih monopoli? Pertama, saat ini saya sedang mengajar mata pelajaran IPS khususnya di kelas 6 SD, dan sedang dalam Bab negara-negara Asia Tenggara, benua-benua di dunia, pas banget kan?:)

Sebenarnya pada awalnya muncul kekhawatiran dalam menggunakan monopoli sebagai salah satu media pembelajaran. Karena yang saya takutkan, anak-anak akan mengambil kesimpulan bahwa yang kaya itu yang menang dan yang pelit itu yang juara. Sehingga saya pun memutuskan untuk tidak menggunakan uang-uangan yang biasanya menjadi ciri khas permainan monopoli. Alasan kedua, untuk membuat permainan lebih simpel dan mudah di rapihkan tentu saja. Lantas sebagai pengganti uang saya menggunakan apa?.“Ting” karena monopoli yang saya beli edisi internasional, negara-negaranya pun mengelilingi dunia, alhasil saya mempunya ide untuk memanfaatkannya agar murid-murid saya bisa bermain sambil mempelajari peta duniaJ.

Bahan-bahan yang di butuhkan:

1. seperangkat alat monopoli
2. Globe atau peta dunia
3. Kartu tambahan mengenai penjelasan masing-masing negara (ini harus dibuat sendiri)
         
   Contoh:

4. Kartu tambahan yang berisi pertanyaan mengenai negara-negara atau benua di dunia (ini juga dibuat sendiri)

Cukup simpel bukan?:)

Kemudian untuk aturan permainannya, saya pun menyesuaikannya agar menjadi sangat mudah dan menarik untuk murid-murid saya (atau mencoba menarikJ)

Cara Bermain:
1.     Siapkan alat-alat permainan: dadu, papan permainan, bidak, kartu penjelasan negara, kartu pertanyaan.
note:
- kartu penjelasan negara sebagai pengganti kartu harga rumah    
- kartu pertanyaan sebagai pengganti kesempatan dan dana umum

2.    Setelah permainan yang di mulai seperti pada umumnya, mengelilingi satu putaran terlebih dahulu. Kemudian setelah satu putaran dan berhenti di salah satu negara, pemain (atau murid saya^^) diberi kesempatan untuk memilih antara membeli rumah di negara itu atau tidak. Apabila tidak, dia dapat melanjutkan permainan, tapi apabila dia berniat untuk membeli rumah di negara tersebut, semisal Arab Saudi. Nah disinilah perbedaannya, karena tidak menggunakan uang mainan. Saya menggunakan globe sebagai syaratnya.

 Syarat membeli rumah di suatu negara:
-          - Siapkan globe didepan pemain
-         -  Pemain harus menemukan letak negara yang akan di belinya di dalam globe.
-        -   Waktu yang di sediakan hanya 20 detik, jika lebih dari waktu yang di sediakan, rumah   yang akan di beli akan hangus dan dapat dibeli pemain lain.
    - Setelah syarat dipenuhi pemain, maka rumah akan di berikan kepada pemain.

Perangkat yang diberikan setelah berhasil menemukan letak negara dalam globe:
-          1 rumah
-          Kartu penjelasan negara tersebut yang fungsinya akan dijelaskan kemudian.
Cara memiliki rumah:
-          Menemukan letak negara
-          Memiliki kartu pertanyaan (akan dijelaskan kemudian)

3.    Nah, di tengah permainan, ketika satu pemain menginjakkan kaki ke negara yang sudah berpenghuni (ditandai dengan adanya rumah), biasanya pemain tersebut akan di denda bukan? Namun sekali lagi karena kita tidak menggunakan uang mainan dalam permainan ini, denda di ganti dengan hal lain. Ingat kartu penjelasan tiap negara yang diberikan sebagai bukti bahwa pemain tersebut telah membeli rumah di negara tersebut?Nah itu digunakan sebagai dendanyaJ

Hukuman(denda) bagi pemain lain yang melewati negara yang telah dihuni pemain lain:
-          Pemain yang menghuni negara tersebut memperlihatkan kartu penjelasan negara
-          Pemain yang menginjakkan kaki di negara berpenghuni harus membacakan kartu penjelasan negara dengan KERAS.
-          Setelah membaca dengan keras dan didengarkan oleh pemain lain, permainan pun bisa di lanjutkanJ
Note:pembacaan kartu penjelasan disesuaikan dengan jumlah rumah yang terdapat dinegara tersebut, jika ada 2, maka dua kaliJ

4.    Di tengah permainan pula, terdapat kolom “kesempatan” dan “dana umum”, ini salah satu kesulitan saya, karena tidak semua kartu dapat digunakan (kebanyakan menggunakan uang sebagai hadiah). Sehingga di ambil keputusan, setiap pemain yang melewati kolom “kesempatan” atau “dana umum” akan mendapat:
-          Mengambil satu kartu pertanyaan
-          Pertanyaan akan dibacakan
-          Apabila tidak dapat menjawab, kartu akan diletakkan kembali dan pemain harus mundur tiga langkah.
-          Apabila dapat terjawab, kartu pertanyaan akan diberikan kepada pemain, sebagai kartu bebas penjara (apabila pemain tersebut masuk penjara) dan dapat digunakan sebagai cara langsung agar ketika pemain yang memiliki rumah di suatu negara melewati negara miliknya, dia dapat menukar kartu pertanyaan dengan rumah tambahan.

Nah kurang lebih begitulah tata cara permainan monopoli mengelilingi duniaJ semoga bergunaJ                                               

Senin, 20 Februari 2012

Pindah lapak

Bismillah...

Kakak-kakak yang dirahmati oleh Allah selalu, Alhamdulillah...atas proyek gotong royong bersama Kang Yudha P Sunandar dan Ibu Maya Dewi Mustika. Website SD IT Rabbani resmi diluncurkan. Maka dengan ini kita bersama-sama pindah lapak menuju tempat yang lebih baik tersebut...semoga jalinan persaudaraan kita semakin luas dan kuat : www.sekolahrabbani.org

Salam
Hesty Ambarwati

Minggu, 12 Februari 2012

Berburu Kutu


Tibalah kami pada hari yang sudah direncanakan ini. Jumat kiamat. Kiamat bagi kutu-kutu yang bersarang di kepala anak-anak kami. Tiga botol peditox sudah saya kantongi, bersama sebotol sampo siap mengguncang ketentraman kehidupan para kutu.
Selepas kegiatan belajar mengajar, beberapa murid yang terdeteksi kutuan mengantri untuk di-peditox-i. Ada yang malu-malu, ada juga yang cuek-cuek saja.
Anak laki-laki dan perempuan sengaja kami pisahkan. Sedini mungkin pemahaman tentang aurat sudah diterapkan di sekolah kami ini. Anak perempuan di dalam kelas, sementara anak laki-laki di teras sekolah.
Kepala Dadan-lah yang pertama kali saya jamahi dengan peditox.
“Naon eta teh, Bu?” tanya Dadan. Apa itu, Bu?
“Obat kutu, Dan, meh paeh,” kata saya. Obat kutu, Dan, biar mati.
Lalu saya, bak pegawai salon profesional, mengacak-ngacak rambut Dadan dengan peditox.
“Seungit nya, Dan,” kata saya. Wangi ya, Dan.
“Enya bu, siga handbody. Ngeunaheun tiis,” kata Dadan. Iya Bu, kaya handbody. Enak, dingin.
Saya sesekali meminta Dadan agak menunduk untuk mempermudah pekerjaan saya. Teman-temannya yang lain setia menonton. Gilang dan Niko, teman sekelas Dadan di kelas 3, memang tidak kutuan. Jadi ya, mereka setia menonton Dadan sambil sesekali menggoda.
“Ibu, ibu,” Yasin memanggil saya, dari tadi dia di samping saya ternyata.
“Iya, Yasin?” tanya saya.
“Nanti aku mah kutuannya kalau rambutnya udah panjang ya,” kata dia polos.
Saya tidak tahan untuk tidak ketawa. Yasin, anak kelas 1 ini memang lucu sekali. Pintar membaca dan berhitung tambah-tambahan, sorot matanya selalu jenaka.
“Eh, Yasin, kalau nanti rambutnya udah panjang juga jangan kutuan atuh. Dijaga yang bersih, ya,” kata saya.
Yasin tidak menjawab, hanya tetap memandangi saya dengan tatapan polosnya. Asyik sekali dia melihat saya “ngapa-ngapain” kepala Dadan. Entah dia mengerti maksud perkataan saya atau tidak. Mungkin Yasin menganggap kutuan adalah hal keren sehingga suatu hari nanti dia harus mencobanya. Atau mungkin dia hanya penasaran bagaimana rasanya kepalanya diacak-acak sambil di-peditox-i. Entahlah.
Setelah Dadan, kakaknya Iwan yang menjadi “pasien” saya. Itu yaa.. peternakan kutunya lebih subur daripada milik Dadan. Hal ini terdeteksi dengan lebih banyaknya lisa (telur kutu) yang bisa saya lihat di kepala anak kelas 5 ini. Gemas sekali rasanya melihat telur-telur kutu itu.
Seharusnya peditox ini didiamkan semalaman sebelum keramas. Tapi karena waktunya mepet dan anak-anak harus Shalat Jumat, akhirnya hanya satu jam saja.
Setelah kira-kira setengah jam, saya tanya Dadan, “Arateul teu, Dan?” Gatel, nggak, Dan?
“Ateul, Bu, ih, kutuna jalan-jalan wae,” kata Dadan. Gatel, Bu, ih, kutunya jalan-jalan aja.
“Keun eta teh kutuna keur mabok, jadi motah,” kata saya. Biarin, itu kutunya lagi mabok, jadi lincah.
“Tuh Bu beunang yeuh,” kata Dadan sambil menggaruk kepalanya. Tuh Bu, dapat nih.Saya terbelalak melihat kutu hasil garukan Dadan nyangkut di sela kukunya.
Sang kakak, Iwan, seperti dugaan saya, hasil “panennya” lebih banyak dari si adik. Dengan sisir kecil beberapa kutu berhasil tersangkut dari kepala Iwan. Iwan sampai bosan, sementara saya masih gemas dengan kutu-kutunya. Saya menyuruh Iwan menghitung jumlah kutunya. Saya bilang ini bisa jadi sejarah yang nanti bisa diceritakan ke anak-cucunya. Tapi Iwan menolak. Saya juga tidak ingat sudah berapa kutu yang berhasil kami tangkap.
“Enggeus, Bu, lah,” kata Iwan. Udahan, Bu.
Iya sih memang sebentar lagi sudah waktunya Jumatan. Akhirnya saya menyuruh Iwan keramas dan memberikan dia sisa peditox. Karena curiga kutu-kutunya masih ada, saya meminta Iwan untuk mengulangi treatment peditox di rumah nanti, tapi dengan waktu sesuai aturan, yaitu semalaman.
Selesai dengan Dadan dan Iwan, saya menengok ke kelas anak perempuan.
“Ibu, ibu, Caca dapat dua lima,” kata Dwi.
“Hah, dua lima? Dua-puluh-lima maksudnya?” tanya saya.
“Iya dua lima,” kata Caca cempreng. Kendati masih kesulitan membaca, Caca si anak kelas 1 ini selalu ceria dengan suara cemprengnya yang khas.
Ternyata anak perempuan memerlukan waktu lebih lama karena rambutnya panjang-panjang. Untunglah mereka lebih santai karena tidak harus Shalat Jumat.
Sinta, seorang anak kelas 3 yang istimewa, juga merengek ingin disiangi kepalanya. Sebenarnya rambut Sinta bersih bebas kutu. Namun tampaknya dia iri karena teman-temannya yang lain dielus-elus kepalanya oleh Bu Guru. Akhirnya Hesty pura-pura memeriksa kepala Sinta :D
Oh iya, wabah kutu ini memang sedang populer, lho, di kalangan anak SD. Waktu Nissa membeli peditox di apotek di Gerlong, peditox-nya sudah hampir habis. Menurut pengakuan petugas apotek, obat yang masyhur sebagai pembasmi kutu rambut itu diborong oleh guru dari SD Isola. Tapi karena peditox yang dibeli Nissa ketinggalan, akhirnya saya beli lagi di daerah Setiabudi :D
Setelah selesai semua anak keramas. Saya kemudian dikejutkan oleh sebuah teriakan, “Ibu.. Ibu.. Pas kuramas si Caca beunang deui dua!” Ibu waktu keramas Caca dapat kutu lagi dua.
Hahaha :D Kami hanya tertawa. Anak-anak ini lucu sekali. Saya, Hesty dan Nissa lalu sama-sama mengagendakan untuk keramas di kosan masing-masing sepulang dari sekolah. Jangan sampai kami ketularan kutu. Hiiiy… [Ibu DM - 10 Februari 2012]

Selasa, 07 Februari 2012

Menggambar Juara

Crayonnya cuma 1 kotak kecil, dengan warna-warna primer bukan gradasinya. Tanpa pilox gambar,tanpa peralatan canggih lainnya...tapi, senyum anak-anak itu menyalakan yakin. 
"Iman, adi, gak usah tengok teman-teman yang  lain, kerjakan saja gambarnya dengan santai dan dan hati-hati ya"
mereka hanya memberikan angguk. Lalu, di bangku pendamping..saya hanya menatap riuh, KITA SUDAH MENYAMBUT BAIK KESEMPATAN ALLAH , selamat berjuang dengan kesederhanaan nak! ^_^

Minggu pagi yang cerah, ini kali kedua siswa SDIT RABBANI mengikuti kompetisi. Bertempat di gedung JICA- salah satu gedung terbaik Universitas Pendidikan Indonesia, entah mengapa saya yakin siswa-siswa saya akan belajar banyak hal hari ini. Pukul 07.00 pagi,  dengan bersemangat saya mengirimkan pesan pada salah satu guru pembimbing,

"Ibu, sudah berangkat? lombanya pukul delapan pagi bu, ingat kan?"

Lucu,begitu bersemangatnya! Tapi biar, saya hanya ingin memastikan bahwa kami tidak akan datang terlambat. Lalu dengan tergesa saya pun berkemas: crayon dan pencil warna milik adik saya, 2 batang pencil, 1 karet penghapus, dan satu buah serutan putar saya masukan serampangan pada sebuah tas jinjing, tidak lupa sebuah meja lipat pun saya siapkan. Dada saya berdegup kencang, perasaan yang sama, seperti saat mengantar adik-adik Taman Teknologi GEMA PENA, mengikuti lomba menggambar dua tahun yang lalu.

Saya tercenung sesaat, gambaran tentang suasana lomba menggambarpun berkelebat, anak-anak dengan tas jinjing berisi peralatan menggambar canggih, yang sebagian peralatannya bahkan menyembul keluar tas. Lalu ketika perlombaan dimulai, dengan sangat percaya diri, goresan-goresan ide pun tertuang: gambar-gambar yang tertemakan dengan baik dan teknik pewarnaan mumpuni, menjadi perpaduan yang bagi saya "mengerikan".

Pukul 08.00, saya bersama Hesty Ambarwati melangkah cepat menuju gedung JICA, rombongan guru pembimbing bersama dua siswa kami sudah menunggu di lokasi.
Lepas urusan administrasi, saya bersama dua siswa, Adi (kelas 4) dan Rohiman (kelas 2) melenggang masuk ruang lomba.

"eta naon, bu?"  Rohiman menggamit lengan saya, bertanya sambil menunjuk sebuah kuas besar disamping tempat duduk salah satu peserta. Saya memicing, berusaha menjelaskan pelan,
"eta kuas sareng pilox gambar,nak."
"jang ngagamar eta teh, bu?"
Saya mengangguk.
"Alus-alus nyak bu..."  Adi ikut menambahkan.

Saya hanya tersenyum sambil membuka meja lipat mereka, mengeluarkan peralatan sederhana yang kami punya. Crayonnya cuma 1 kotak kecil, dengan warna-warna primer bukan gradasinya. Tanpa pilox gambar, tanpa peralatan canggih lainnya...tapi, senyum anak-anak itu menyalakan yakin. 

Saya cek sekali lagi persiapan mereka, persiapan yang sederhana itu. Mengecek lembaran kertas, memastikan nama dan sekolah sudah tertulis dengan benar. Ada gurat-gurat ragu pada wajah polos dua bocah itu. Saya hanya tersenyum, sambil merangkul dua bahu juara SDIT RABBANI itu, saya meyakinkan mereka,

"Iman, adi, gak usah tengok teman-teman yang  lain, kerjakan saja gambarnya dengan santai dan dan hati-hati ya, Iman dan Adi juaranya SDIT RABBANI"

Mereka hanya memberikan angguk, dan tersenyum lagi. Lalu, di bangku pendamping..saya hanya menatap riuh, KITA SUDAH MENYAMBUT BAIK KESEMPATAN ALLAH, selamat berjuang dengan kesederhanaan nak.

---

Di penghujung, para juara itu diumumkan.Satu per satu maju bersama karya mereka selama 120 menit tadi. Adi dan Rohiman menatap para juara itu takzim.

"aralus geuning bu..."  itu suara Adi, lumayan terdengar yang lain. Saya tertawa kecil.
"alus geuning batur mah..."  yang ini suara Rohiman. Saya tersenyum simpul.
"Nyak alus, nu Adi jeung Iman ge alus. Tah tadi saur bapak juri oge, sadayana juara"  Saya berusaha menyemangati.
Rohiman mengangguk sambil tersenyum lebar menampakkan gigi ompongnya, lalu seperti biasa, Adi hanya mengangguk dengan senyum khasnya.

---

Nak, kita sudah menyambut baik kesempatan Allah. Kesempatan untuk bertemu banyak teman, kesempatan melihat bakteri Lactobacillus Bulgaricus, kesempatan untuk merasa deg deg-an saat berkompetisi, kesempatan menunjukan yang terbaik, kesempatan untuk melihat betapa luas dunia ini...bahwa dunia luas, tak hanya ada Cimenyan dan rumah kita saja. Sungguh, nikmat kesempatan ini lebih dari sekedar menjadi juara, kan nak?

"Nanti kita akan adakan lomba membuat kandang omen (hamster) ya...."

Mereka hanya tertawa, lapang dada.
Tahukah nak, seni adalah soal menemukan dan menjebak puas dalam batinmu, bukan hanya bangga meraih piala. Dan pribadi juara adalah ketika hari ini, kami melihat kalian melenggang tertawa, tersenyum tenang-tenang saja, menerima kekalahan dengan biasa. Kalianlah juara sejatinya...

(Miss Nissa)

Senin, 06 Februari 2012

Anak-anak Kelebihan Tenaga


6 Februari 2012. Pasca lomba menggambar, wali kelas 1 akhirnya tumbang juga. Sakit (Syafakillahu Ibu). Maka barulah tugas kepala sekolah terasa. Menggantikan tugas wali kelas 1 memberikan pembelajaran di kelas. Kelas 1, kelas yang paling saya hindari. Kelas yang berisi 5 siswa dengan tenaga berlebih. 

Caca si Puteri Anggun
“Caca….” Panggilku
“Naon bu?” suara cemprengnya menyahut sambil memakan batagor dan berjalan santai.
“Mau Ibu ajarin jadi putri anggun teu?”
“Hah..naon eta?”
“Sini, duduk dulu”
“Kaki kirinya naikkan ke atas lutut kanan”

Ia pun menirukan kaku. Caca, anak perempuan yang kelaki-lakian. Anak-anak sebut ia preman. Bayangkan, jika ia duduk, maka Caca memilih jongkok (walau menggunakan rok). Makan sambil lari, ataupun jongkok. Tampaknya jongkok menjadi posisi andalannya. Seoalah lupa sedang menggunakan rok. Caca yang selalu berteriak-teriak di kelas dengan bahasa sunda kasarnya. Ya, ia tak mampu berbahasa Indonesia. Caca yang masih harus terbata-bata menghafal deretan alphabet.

“Kieu ibu?” Jawabnya lucu
“Nah, cantik kan putri anggun?, sekarang putri anggun biasanya kalau makan mulutnya tertutup, seperti ini” saya pun mencontohkannya.
“Kieu ibuu?” mulai centil.
“Eh…kadieeeu, barudaaak” teriaknya, terdistraksi.
“Hei putri anggun, biasanya berbicara pelan-pelan”
“Kumaha caranaaaa ngomong pelan-pelan…ngke teu kadangu ibu”
 Setelahnya, ia pun memanggil dirinya dengan sebutan putri anggun. Sambil meniru-niru gerakan tante-tante. Setidaknya ia mau belajar untuk menjadi lebih wanita.

Belajar tahap 1 ditutup dengan Yasin yang berteriak. Yasin, salah satu anggota kelas 1.

“Ibu, kakinya nyeri”
“Kenapa?”

Membuat kotak engklek [Foto Hesty]
Saya melihat kakinya. Ah, penyakit kulit no 5. Biasa kita sebut dengan buduk. Berdarah, karena tergaruk. Betadine, revanol. Entahlah, yang penting lukanya steril. Pertolongan pertama pada kaki buduk pun selesai dilakukan. 

“Eh, kita main engklek yu” teriakku
“Hayu ibuuuu” sambut asri dan lia

Anak-anak dengan bahagianya membuat 10 buah kotak. Selesai. Kami isi kotak pertama dengan angka 1, kotak ke dua dengan angka 2, begitu seterusnya hingga kotak ke sepuluh. 

“Begini ya peraturannya, Ibu akan mainkan lagu. Klo lagunya berhenti, berarti kalian juga berhenti loncatnya. Nah, setelah itu, jumlahkan angka yang ada dalam kotak tempat kalian berhenti, dan angka-angka pada kotak sebelumnya. Ngartoss? Hmmm, lagu apa ya?” 


Asri menghitung bilangan [Foto Hesty]
“Cherry Bell” teriak Caca

“-_-, Sherina aja ya, tau ga?”

“Gaaaaa” serentak semua menjawab. Ah, kasihan mereka tidak punya lagu anak-anak. 

Satu-satu anak loncat-loncat riang, di atas kotak-kotak bertuliskan angka. Lagu selesai dimainkan, praktis merekapun menambahkan bilangan-bilangan di dalamnya. Satu satu. Tanpa menghitungnya di kertas, hanya di awang-awang. Penjumlahan puluhan, yang seharusnya dilakukan di kelas 2.  Pintar. Mereka terus melompat-lompat hingga bosan, dan berkata “Ibu, urang maen kejar-kejaran”.

“Gimana klo kita jalan-jalan lihat mata air yuuu” usulku
“Hayuuuu” dasar anak-anak, mudah sekali dialihkan pikirannya.

Arya Menuliskan Jumlah
Berjalan beriringan, di atas tanah merah. Alhamdulillah, tidak terlalu licin. Karena hari-hari sebelumnya, hujan belum juga menyapa Cimenyan kami.  Berjalan menuju tempat outbond. Kebetulan sekolah kami bertetangga dengan tempat outbond, dan anak-anak penduduk memiliki akses tak terbatas disana. 

“Ibuuu…kaliii” teriak Lia
“Loh, kok kalinya mulai berubah? Airnya pergi kemana?”
“Kan diuruk ibu” teriak Arya. Anak terkecil di kelas, lucu, cempreng dan menggemaskan. Objek bully kakak-kakaknya. Dia? Senang saja.
“Ih, klo kaya gitu, ikannya mati dong?”
Belajar di bawah pohon bambu
“Nya henteu atuuuh ibuuu….kan ikannya pindah ke sanaaa” teriak Caca
“Mana bisa? Loncat gitu?”
“ :D “ Caca senyum.
“Ibu…hayu urang ka air terjun” Lia berkata

Dasar anak-anak, ada jalan tanah, mereka memilih menyebrangi balong menggunakan jembatan bambu.

“Ibuuuu…..kok kaya bergeraak bambunyaa? Itu kok airnya bergerak-gerak gitu?” Yasin berteriak
“Coba kenapa bisa bergerak?”
“Ada angiiin” ujar Asri.
Caca melintasi jembatan bambu
“Eh, ada air terjun. Airnya mengalir dari atas ke?” tanyaku
“Ke situuuu” Sambil menunjuk sungai di bawahnya. Tidak bisa disalahkan. 

30 Menit yang penuh dengan permainan. Belajar dari alam, tak peduli standar kompetensi, tak peduli kompetensi dasar. Saya hanya ingin mereka belajar, bahwa semesta ini penuh dengan Ilmu Tuhannya, Allah Swt. Semoga mereka semakin terkagum-kagum pada sosok pengatur Jagat Raya.
Yasin bermain air
 
“Udahan yu..udah jam 11 loh, kalian kan pulang jam 11”
“Ah ga mauuu ibuuuu….”
“Kan klo di kelas juga biasanya minta pulang klo udah jam 11”
“Beda atuuuhhhh….ini kan di luar”

Inilah rekor yang pernah tercetak. Mereka pulang pukul 12.00. Bahkan Caca, masih berteriak-teriak. "Ibu hayu urang diajar macaaa".

Haha, polos dan lugu. Dasar anak-anak berlebihan tenaga. Anak-anak didikan alam. Tak bisa duduk tenang dalam kotak bernama kelas. Selamat belajar. [HA - 6 Februari 2012, riang]

Melukis Masa Depan


Adi tekun menggambar


Perlombaan adalah suatu peristiwa sangat besar bagi anak-anak kami. Apalagi kalau dilaksanakan di luar negaranya. Hari itu, 5 Februari 2012. Adi dan Iman, dua anak kami mengikuti perhelatan akbar pertama sepanjang sejarah hidupnya. Lomba menggambar di UPI, dilaksanakan oleh kakak-kakak dari Himpunan Mahasiswa Biologi UPI (HMBF Formica). Temanya menarik, mengenai : Melestarikan Lingkungan Hidup.

Rohiman mengikuti lomba [Foto : Hesty Ambarwati]


Adi dan Iman, dengan pakaian sederhana dan tas punggung yang kebesaran melangkah mantap di lorong Gedung FPMIPA. Menatap anak-anak lainnya yang diantar menggunakan mobil pribadi oleh orang tuanya sendiri. Anak-anak kota membawa perlengkapan menggambar yang sangat professional. Adi dan Iman, di tengah mantap langkahnya, menatap anak-anak kota takjub. Gurat wajahnya mendadak berbicara tingkat groginya yang akut. Ini kali pertamanya menginjakkan kaki di tempat semegah dan seluas ini. Takjub.

Siswa lain dengan peralatan yang profesional
Adi dan Iman, duduk bersama anak-anak kota, masing-masing dibekali meja lipat milik gurunya, pensil, penghapus, tisu yang entah fungsinya apa serta crayon sederhana dengan warnanya yang standar. Kotak crayonnya tak sebesar anak-anak kota,  mereka tak memiliki kuas, sarung tangan, glitter, dan peralatan gambar lainnya. 

Adi dan Iman menatap sekeliling grogi. Riuh suara anak-anak kota membuat mereka tenggelam pada suasana kompetisi yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Suasana yang nano-nano.

“Fokus menggambar saja, jangan lihat sekeliling” Miss Nissa berpetuah

Iman mengintip Lactobacillus Bulgaricus
120 menit mulai dihitung mundur. Iman garuk-garuk kepala. Adi menerawang jauh ke depan berharap mendapat inspirasi. Anak-anak kota mantap menatap kertas gambarnya. 30 menit selanjutnya, Adi dan Iman mulai mantap menatap kertas gambarnya. Menggambar apa saja dalam otaknya. 

Ibu Nisa, Iman, Adi dan Bu Nurul di depan JICA

120 menit berlalu. Pengumuman pemenang dimulai. Juara 1,2 dan 3 didapatkan oleh anak-anak kota. Maju menenteng piala dan gambarnya. 

Alus geuning nu batur mah” celetuk Iman lantang di tengah sepinya ruangan. Polos

“Nya Man” sahut Adi. Yang lain memandang.

“Gimana perasaannya?” tanya kami

“Deg-degan ibu…tapi seru da banyak temen”

“Tenang…nanti kita buat lomba bikin kandang omen (hamster) nya” celetuk kami

“Hahahah….ibu”


Foto bersama peserta lainnya
Saya hanya dapat tersenyum simpul. Nak, jauh sebelum perlombaan ini, kalian sudah menjadi juara. Juara karena telah menaklukan ketakutanmu. Juara, karena telah menaklukan perasaan tidak mampu. Juara, karena telah sampai di sini, merasakan nikmatnya kompetisi. Juara, karena lebih bersemangat belajar lagi setelahnya. Juara, karena tahu arti lapang dada. Juara, karena merasa kompetitormu bukanlah lawan melainkan kawan untuk saling berprestasi. Juara, karena setelahnya kalian berkata “Ibu nanti mau ikut lomba lagi, tadi udah liat gambar nu batur”. Dan senyum bangga menutup hari kalian saat itu. Selamat ibu ucapkan pada kalian. Nanti berlatih lagi ya. Gagal itu indah, jika kau memandangnya demikian. Dan seni bukan untuk mendapatkan piala itu, namun untuk mendapatkan kepuasaan dalam hatimu.
[HA – 6 Februari 2012, galau skripsi]