Sabtu, 04 Februari 2012

Pendidikan berkualitas untuk semua


“Hanya orang kaya atau cerdas yang berhak memperoleh pendidikan berkualitas, yang bodoh dan miskin harus puas dengan kualitas seadanya”

Anak-anak pengukir sejarah [Foto: Hesty Ambarwati]
Mendidik peserta didik yang cerdas, dan berakhlak mulia ditambah kaya merupakan impian setiap pendidik. Pendidik tak perlu repot-repot menjelaskan materi di depan kelas, merekapun tak perlu menghabiskan tenaga dan hati untuk memberi pelajaran pada peserta didik yang senantiasa berbuat “ulah”.  Dunia pengajarannya begitu indah karena dipenuhi oleh peserta didik yang mampu berprestasi luar biasa. Deretan piala dan piagam penghargaan yang dihasilkan oleh anak-anak cerdas menghiasi kantor kepala sekolah, merupakan kebanggaan tersendiri untuk sebuah sekolah. Kelas terasa lebih hidup dengan anak-anak yang mengacungkan tangan, berebut menjawab pertanyaan. Guru konseling pun tidak harus kebanjiran “pasien” yang butuh penanganan khusus. Wali kelas tidak perlu repot-repot mendengar dongeng “ibu, maaf saya tidak punya uang”  setiap bulan atau awal semester  dari orang tua peserta didik, karena yang miskin namun pintar senantiasa dapat beasiswa, dan yang kaya namun biasa-biasa saja sudah lebih dulu memiliki uang. 

Kondisi serba memudahkan inilah yang membuat sekolah berlomba-lomba menyeleksi peserta didiknya, hanya dua pilihan, mendapatkan yang cerdas atau yang kaya. Dengan iming-iming tunjangan yang menyilaukan mata, guru-guru berkualitas berbondong-bondong mendatangi sekolah-sekolah berkualitas. Sekolah berkualitas senantiasa mendapatkan sorotan, sumbangan didahulukan, fasilitas sekolah ditingkatkan. Anak-anak cerdas semakin cerdas,  yang kaya bisa semakin kaya karena pendidikannya yang serba ada. 

Sekarang mari kita tengok golongan lain dari kumpulan peserta didik se-Indonesia. Ya, ialah golongan peserta didik yang dianggap tidak cerdas, tidak berakhlak, juga tidak kaya.  Golongan kelas 2 yang senantiasa termarginalkan. Nasib pendidikannya-pun tak jauh dari nasib hidupnya. Sekolah-sekolah kelas 2 dengan kualitas guru yang pas-pasan juga dengan gaji pas-pasan, fasilitas diada-adakan, dan tidak menjadi sorotan. Sekolah dengan tipe paling tragis se-Indonesia. Anak-anak mereka dianggap wabah yang menyebarkan masalah, dari mulai jejeran prestasi yang tidak dapat dibanggakan, prilaku yang tidak seperti manusia, keuangan yang minim, lesu pada hidupnya sendiri, senantiasa membuat keonaran, sampai pada wabah impoliteness. Guru konseling pun kebanjiran order, begitu banyak antrian pasiennya. Banyak guru menyatakan menyerah, dan peserta didik-pun menyerah pada hidupnya. Beragam kasusnya, guru mengundurkan diri atau peserta didik yang dipaksa mengundurkan diri.  Akhirnya yang tidak terdidik akan mendapat gelar tidak terdidik sepanjang hidupnya. 

Dikotomi pendidikan, semakin menggiring kita lupa pada hakikat pendidikan Indonesia juga janji kemerdekaannya. Preambule UUD 1945 menuliskan dengan jelas salah satu janji kemerdekaannya, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”, bukan “mencerdaskan kehidupan warga Negara yang cerdas dan atau kaya”. Artinya, kita harus kembali pada hakikat tersebut, bahwa pendidikan merupakan hak bagi seluruh bangsa Indonesia tanpa terkecuali. Tidak hanya pendidikan seadanya, namun pendidikan yang berkualitas adalah hak setiap warga Negara Indonesia. 

Pendidikan merupakan perangkat kaderisasi negeri ini. Pemerintah harus menjamin bahwa setiap warga Negaranya mendapatkan pendidikan yang berkualitas agar melahirkan warga-warga Negara yang berkualitas. Sehingga mereka yang berkualitas inilah yang akan meneruskan perjuangan para pahlawan, menjadikan peradaban negeri ini madani. 

Dan kita pun tak harus senantiasa menunggu pemerintah bergerak. Karena perubahan bisa kita lakukan di sekolah atau di kelas kita sendiri. 

Bukankah hakikat pendidikan adalah “membawa mereka dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang?”. Sebagaimana Rasulullah Saw mendidik Umar bin Khathab yang seorang preman hingga menjadi khalifah yang lembut hatinya. Sebagaimana Rasulullah Saw mendidik masyarakat Arab yang cinta dengan kejahiliyahannya menjadi masyarakat yang merdeka, maju disetiap lini kehidupan. Sebagaimana Rasulullah Saw mendidik semuanya tanpa terkecuali, tak mengenal kasta, karena Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Ya, manusia pada dasarnya baik hanya sedang tersesat, maka tugas kitalah untuk menjadikan mereka kembali pada hakikat kemanusiaannya. 

Konsep seperti inilah yang harusnya menjadi ruh bagi setiap pendidik. Bahwa yang nakal, yang bodoh dan yang miskin itupun harus merasakan manfaat pendidikan dari seorang pendidik yang berkualitas. Karena sesungguhnya, tidak ada peserta didik yang bodoh, nakal dan miskin. Mereka hanyalah peserta didik yang belum pintar, belum berakhlak baik dan belum kaya. Tugas kitalah dengan segala kepedulian membimbing mereka untuk menemukan cahayanya sendiri.  Itulah esensi pendidikan, proses terbaik yang dilakukan, bukan input terbaik yang diharapkan. Siapapun dan bagaimanapun inputnya sekolah harus melakukan proses terbaik untuk menghasilkan output terbaik. Dan kelak, pendidikan berkualitas menjadi hak setiap anak negeri. [HA - 4 Februari 2012]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar