“Hanya orang kaya atau cerdas yang berhak memperoleh pendidikan
berkualitas, yang bodoh dan miskin harus puas dengan kualitas seadanya”
Anak-anak pengukir sejarah [Foto: Hesty Ambarwati] |
Mendidik peserta
didik yang cerdas, dan berakhlak mulia ditambah kaya merupakan impian setiap
pendidik. Pendidik tak perlu repot-repot menjelaskan materi di depan kelas,
merekapun tak perlu menghabiskan tenaga dan hati untuk memberi pelajaran pada
peserta didik yang senantiasa berbuat “ulah”.
Dunia pengajarannya begitu indah karena dipenuhi oleh peserta didik yang
mampu berprestasi luar biasa. Deretan piala dan piagam penghargaan yang dihasilkan
oleh anak-anak cerdas menghiasi kantor kepala sekolah, merupakan kebanggaan
tersendiri untuk sebuah sekolah. Kelas terasa lebih hidup dengan anak-anak yang
mengacungkan tangan, berebut menjawab pertanyaan. Guru konseling pun tidak
harus kebanjiran “pasien” yang butuh penanganan khusus. Wali kelas tidak perlu
repot-repot mendengar dongeng “ibu, maaf saya tidak punya uang” setiap bulan atau awal semester dari orang tua peserta didik, karena yang
miskin namun pintar senantiasa dapat beasiswa, dan yang kaya namun biasa-biasa
saja sudah lebih dulu memiliki uang.
Kondisi serba
memudahkan inilah yang membuat sekolah berlomba-lomba menyeleksi peserta
didiknya, hanya dua pilihan, mendapatkan yang cerdas atau yang kaya. Dengan
iming-iming tunjangan yang menyilaukan mata, guru-guru berkualitas
berbondong-bondong mendatangi sekolah-sekolah berkualitas. Sekolah berkualitas
senantiasa mendapatkan sorotan, sumbangan didahulukan, fasilitas sekolah
ditingkatkan. Anak-anak cerdas semakin cerdas,
yang kaya bisa semakin kaya karena pendidikannya yang serba ada.
Sekarang mari
kita tengok golongan lain dari kumpulan peserta didik se-Indonesia. Ya, ialah
golongan peserta didik yang dianggap tidak cerdas, tidak berakhlak, juga tidak
kaya. Golongan kelas 2 yang senantiasa
termarginalkan. Nasib pendidikannya-pun tak jauh dari nasib hidupnya.
Sekolah-sekolah kelas 2 dengan kualitas guru yang pas-pasan juga dengan gaji
pas-pasan, fasilitas diada-adakan, dan tidak menjadi sorotan. Sekolah dengan
tipe paling tragis se-Indonesia. Anak-anak mereka dianggap wabah yang
menyebarkan masalah, dari mulai jejeran prestasi yang tidak dapat dibanggakan,
prilaku yang tidak seperti manusia, keuangan yang minim, lesu pada hidupnya
sendiri, senantiasa membuat keonaran, sampai pada wabah impoliteness. Guru konseling pun kebanjiran order, begitu banyak
antrian pasiennya. Banyak guru menyatakan menyerah, dan peserta didik-pun
menyerah pada hidupnya. Beragam kasusnya, guru mengundurkan diri atau peserta
didik yang dipaksa mengundurkan diri.
Akhirnya yang tidak terdidik akan mendapat gelar tidak terdidik
sepanjang hidupnya.
Dikotomi
pendidikan, semakin menggiring kita lupa pada hakikat pendidikan Indonesia juga
janji kemerdekaannya. Preambule UUD 1945 menuliskan dengan jelas salah satu
janji kemerdekaannya, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”, bukan “mencerdaskan
kehidupan warga Negara yang cerdas dan atau kaya”. Artinya, kita harus kembali
pada hakikat tersebut, bahwa pendidikan merupakan hak bagi seluruh bangsa
Indonesia tanpa terkecuali. Tidak hanya pendidikan seadanya, namun pendidikan
yang berkualitas adalah hak setiap warga Negara Indonesia.
Pendidikan
merupakan perangkat kaderisasi negeri ini. Pemerintah harus menjamin bahwa
setiap warga Negaranya mendapatkan pendidikan yang berkualitas agar melahirkan
warga-warga Negara yang berkualitas. Sehingga mereka yang berkualitas inilah
yang akan meneruskan perjuangan para pahlawan, menjadikan peradaban negeri ini
madani.
Dan kita pun tak
harus senantiasa menunggu pemerintah bergerak. Karena perubahan bisa kita
lakukan di sekolah atau di kelas kita sendiri.
Bukankah hakikat
pendidikan adalah “membawa mereka dari kegelapan menuju cahaya yang terang
benderang?”. Sebagaimana Rasulullah Saw mendidik Umar bin Khathab yang seorang
preman hingga menjadi khalifah yang lembut hatinya. Sebagaimana Rasulullah Saw
mendidik masyarakat Arab yang cinta dengan kejahiliyahannya menjadi masyarakat
yang merdeka, maju disetiap lini kehidupan. Sebagaimana Rasulullah Saw mendidik
semuanya tanpa terkecuali, tak mengenal kasta, karena Islam adalah rahmat bagi
seluruh alam. Ya, manusia pada dasarnya baik hanya sedang tersesat, maka tugas
kitalah untuk menjadikan mereka kembali pada hakikat kemanusiaannya.
Konsep seperti
inilah yang harusnya menjadi ruh bagi setiap pendidik. Bahwa yang nakal, yang
bodoh dan yang miskin itupun harus merasakan manfaat pendidikan dari seorang
pendidik yang berkualitas. Karena sesungguhnya, tidak ada peserta didik yang
bodoh, nakal dan miskin. Mereka hanyalah peserta didik yang belum pintar, belum
berakhlak baik dan belum kaya. Tugas kitalah dengan segala kepedulian
membimbing mereka untuk menemukan cahayanya sendiri. Itulah esensi pendidikan, proses terbaik yang
dilakukan, bukan input terbaik yang
diharapkan. Siapapun dan bagaimanapun inputnya sekolah harus melakukan proses
terbaik untuk menghasilkan output
terbaik. Dan kelak, pendidikan berkualitas menjadi hak setiap anak negeri. [HA - 4 Februari 2012]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar