Minggu, 12 Februari 2012

Berburu Kutu


Tibalah kami pada hari yang sudah direncanakan ini. Jumat kiamat. Kiamat bagi kutu-kutu yang bersarang di kepala anak-anak kami. Tiga botol peditox sudah saya kantongi, bersama sebotol sampo siap mengguncang ketentraman kehidupan para kutu.
Selepas kegiatan belajar mengajar, beberapa murid yang terdeteksi kutuan mengantri untuk di-peditox-i. Ada yang malu-malu, ada juga yang cuek-cuek saja.
Anak laki-laki dan perempuan sengaja kami pisahkan. Sedini mungkin pemahaman tentang aurat sudah diterapkan di sekolah kami ini. Anak perempuan di dalam kelas, sementara anak laki-laki di teras sekolah.
Kepala Dadan-lah yang pertama kali saya jamahi dengan peditox.
“Naon eta teh, Bu?” tanya Dadan. Apa itu, Bu?
“Obat kutu, Dan, meh paeh,” kata saya. Obat kutu, Dan, biar mati.
Lalu saya, bak pegawai salon profesional, mengacak-ngacak rambut Dadan dengan peditox.
“Seungit nya, Dan,” kata saya. Wangi ya, Dan.
“Enya bu, siga handbody. Ngeunaheun tiis,” kata Dadan. Iya Bu, kaya handbody. Enak, dingin.
Saya sesekali meminta Dadan agak menunduk untuk mempermudah pekerjaan saya. Teman-temannya yang lain setia menonton. Gilang dan Niko, teman sekelas Dadan di kelas 3, memang tidak kutuan. Jadi ya, mereka setia menonton Dadan sambil sesekali menggoda.
“Ibu, ibu,” Yasin memanggil saya, dari tadi dia di samping saya ternyata.
“Iya, Yasin?” tanya saya.
“Nanti aku mah kutuannya kalau rambutnya udah panjang ya,” kata dia polos.
Saya tidak tahan untuk tidak ketawa. Yasin, anak kelas 1 ini memang lucu sekali. Pintar membaca dan berhitung tambah-tambahan, sorot matanya selalu jenaka.
“Eh, Yasin, kalau nanti rambutnya udah panjang juga jangan kutuan atuh. Dijaga yang bersih, ya,” kata saya.
Yasin tidak menjawab, hanya tetap memandangi saya dengan tatapan polosnya. Asyik sekali dia melihat saya “ngapa-ngapain” kepala Dadan. Entah dia mengerti maksud perkataan saya atau tidak. Mungkin Yasin menganggap kutuan adalah hal keren sehingga suatu hari nanti dia harus mencobanya. Atau mungkin dia hanya penasaran bagaimana rasanya kepalanya diacak-acak sambil di-peditox-i. Entahlah.
Setelah Dadan, kakaknya Iwan yang menjadi “pasien” saya. Itu yaa.. peternakan kutunya lebih subur daripada milik Dadan. Hal ini terdeteksi dengan lebih banyaknya lisa (telur kutu) yang bisa saya lihat di kepala anak kelas 5 ini. Gemas sekali rasanya melihat telur-telur kutu itu.
Seharusnya peditox ini didiamkan semalaman sebelum keramas. Tapi karena waktunya mepet dan anak-anak harus Shalat Jumat, akhirnya hanya satu jam saja.
Setelah kira-kira setengah jam, saya tanya Dadan, “Arateul teu, Dan?” Gatel, nggak, Dan?
“Ateul, Bu, ih, kutuna jalan-jalan wae,” kata Dadan. Gatel, Bu, ih, kutunya jalan-jalan aja.
“Keun eta teh kutuna keur mabok, jadi motah,” kata saya. Biarin, itu kutunya lagi mabok, jadi lincah.
“Tuh Bu beunang yeuh,” kata Dadan sambil menggaruk kepalanya. Tuh Bu, dapat nih.Saya terbelalak melihat kutu hasil garukan Dadan nyangkut di sela kukunya.
Sang kakak, Iwan, seperti dugaan saya, hasil “panennya” lebih banyak dari si adik. Dengan sisir kecil beberapa kutu berhasil tersangkut dari kepala Iwan. Iwan sampai bosan, sementara saya masih gemas dengan kutu-kutunya. Saya menyuruh Iwan menghitung jumlah kutunya. Saya bilang ini bisa jadi sejarah yang nanti bisa diceritakan ke anak-cucunya. Tapi Iwan menolak. Saya juga tidak ingat sudah berapa kutu yang berhasil kami tangkap.
“Enggeus, Bu, lah,” kata Iwan. Udahan, Bu.
Iya sih memang sebentar lagi sudah waktunya Jumatan. Akhirnya saya menyuruh Iwan keramas dan memberikan dia sisa peditox. Karena curiga kutu-kutunya masih ada, saya meminta Iwan untuk mengulangi treatment peditox di rumah nanti, tapi dengan waktu sesuai aturan, yaitu semalaman.
Selesai dengan Dadan dan Iwan, saya menengok ke kelas anak perempuan.
“Ibu, ibu, Caca dapat dua lima,” kata Dwi.
“Hah, dua lima? Dua-puluh-lima maksudnya?” tanya saya.
“Iya dua lima,” kata Caca cempreng. Kendati masih kesulitan membaca, Caca si anak kelas 1 ini selalu ceria dengan suara cemprengnya yang khas.
Ternyata anak perempuan memerlukan waktu lebih lama karena rambutnya panjang-panjang. Untunglah mereka lebih santai karena tidak harus Shalat Jumat.
Sinta, seorang anak kelas 3 yang istimewa, juga merengek ingin disiangi kepalanya. Sebenarnya rambut Sinta bersih bebas kutu. Namun tampaknya dia iri karena teman-temannya yang lain dielus-elus kepalanya oleh Bu Guru. Akhirnya Hesty pura-pura memeriksa kepala Sinta :D
Oh iya, wabah kutu ini memang sedang populer, lho, di kalangan anak SD. Waktu Nissa membeli peditox di apotek di Gerlong, peditox-nya sudah hampir habis. Menurut pengakuan petugas apotek, obat yang masyhur sebagai pembasmi kutu rambut itu diborong oleh guru dari SD Isola. Tapi karena peditox yang dibeli Nissa ketinggalan, akhirnya saya beli lagi di daerah Setiabudi :D
Setelah selesai semua anak keramas. Saya kemudian dikejutkan oleh sebuah teriakan, “Ibu.. Ibu.. Pas kuramas si Caca beunang deui dua!” Ibu waktu keramas Caca dapat kutu lagi dua.
Hahaha :D Kami hanya tertawa. Anak-anak ini lucu sekali. Saya, Hesty dan Nissa lalu sama-sama mengagendakan untuk keramas di kosan masing-masing sepulang dari sekolah. Jangan sampai kami ketularan kutu. Hiiiy… [Ibu DM - 10 Februari 2012]

1 komentar:

  1. haduh... lagi musim ya bu :D
    *jangan-jangan sumbernya dari gerlong nih bu .. hehe ^_^(v)

    BalasHapus